Luwu – Semangat anak-anak di Lapangan Andi Leluasa, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, tampak menyala sejak pagi. Satu per satu tim datang, membawa harapan, keriangan, dan mimpi kecil yang suatu hari bisa menjadi besar. Pada Minggu (30/11/2025), Forum Sepak Bola Generasi Indonesia (FORSGI) Luwu Raya kembali menggelar Festival Sepak Bola U-10 dan U-12, menghadirkan talenta muda dari empat daerah: Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur.
Kegiatan ini bukan sekadar turnamen, tetapi wadah pembinaan usia dini yang dirancang untuk membentuk pemain yang kuat secara teknik sekaligus tangguh dalam karakter. Di Luwu, pembinaan tersebut lahir dari kolaborasi antara LDII Kabupaten Luwu dan FORSGI Luwu, dua lembaga yang saling melengkapi dalam membangun generasi muda. LDII fokus pada akhlakul karimah, ibadah, dan kemandirian, sementara FORSGI menanamkan dasar-dasar sepak bola modern dan sportivitas.
Ketua Panitia, Supardi, menjelaskan bahwa festival tahun ini diikuti oleh 10 tim—lima dari kelompok U-10 dan lima dari kelompok U-12. Sekitar 200 pemain muda tampil di lapangan, sebagian besar menunjukkan kemampuan yang mengundang tepuk tangan orang tua dan pelatih.
“Yang kami tekankan bukan sekadar menang atau kalah, tetapi bagaimana anak-anak merasakan atmosfer kompetisi sejak awal,” ujar Supardi. “Mereka belajar disiplin, menghargai lawan, dan memahami bahwa proses lebih penting daripada hasil.”
Suasana meriah itu semakin terasa dengan tawa anak-anak, kekompakan tim, hingga tepuk tangan kecil setiap kali gol tercipta. Di balik semua itu, kegiatan ini menyimpan misi besar: memutus mata rantai minimnya pembinaan usia dini yang kerap menjadi kendala klub dan daerah dalam menemukan bibit berkualitas.
Festival ini bukan kegiatan berdiri sendiri. Ketua FORSGI Sulawesi Selatan, Jubliadi Patangke, menegaskan bahwa kompetisi tersebut merupakan bagian dari sistem berjenjang yang sudah berjalan sejak 2021. Setelah melewati tingkat kabupaten dan kota, pemain terbaik akan disaring untuk tampil pada festival tingkat provinsi, lalu menuju ajang nasional yang digelar oleh Kemenpora di Jakarta.
“Ini adalah penyelenggaraan yang ketiga. Sistem pembinaan kami berlapis, dari daerah hingga nasional. FORSGI juga mendapat dukungan langsung dari Kemenpora,” tutur Jubliadi.
Menurutnya, pembinaan usia 10–12 tahun adalah fase emas perkembangan teknik. Sayangnya, usia ini kerap terlewat dalam pelatihan sekolah sepak bola (SSB), sehingga FORSGI memilih memfokuskan diri menyeriuskan pembinaan pada kelompok usia tersebut.
“Yang dinilai bukan hanya skor akhir, tetapi teknik bermain dan karakter. Talent scout dari Jakarta juga akan memantau perkembangan para pemain,” jelasnya.
Perjalanan Sulawesi Selatan dalam pembinaan pemain muda sudah mulai membuahkan hasil. Jubliadi mengungkapkan bahwa pada 2022, dua pemain dari Sulsel berhasil tampil di festival nasional di Jakarta. Dari ajang tersebut, enam pemain muda kemudian direkrut klub profesional.
“Tiga pemain direkrut Persija, dua bergabung ke Borneo FC, dan satu ke PSM Makassar. Ini bukti bahwa pembinaan usia dini sangat mungkin melahirkan talenta berkualitas,” tegasnya.
Untuk Wilayah Luwu Raya, festival telah berlangsung dua tahun berturut-turut. Tahun lalu digelar di Lamasi, dan tahun ini di Kamanre. Rotasi wilayah dianggap penting agar masyarakat semakin terlibat dan merasa memiliki pembinaan atlet di daerahnya.
“Kami ingin masyarakat Luwu Raya ikut mengawal. Semakin banyak dukungan, semakin besar peluang lahirnya bintang sepak bola masa depan,” katanya.
Ketua KONI Luwu, Suryanto, turut hadir dan memberi apresiasi atas penyelenggaraan festival. Ia menilai kegiatan seperti ini adalah fondasi penting untuk membaca potensi atlet sejak usia pertumbuhan.
“Kami tentu mendukung penuh. Pembinaan dari kecil sangat menentukan masa depan atlet,” ungkapnya.
Menurutnya, jumlah atlet muda di Luwu masih perlu ditingkatkan. Karena itu, kompetisi usia dini harus lebih rutin dilaksanakan agar semakin banyak bibit unggul muncul ke permukaan.
“Semakin sering kompetisi digelar, semakin banyak bakat terlihat. Kami berharap event seperti ini bisa berjalan setiap tahun,” ucapnya menutup.
Festival ini bukan hanya soal sepak bola. LDII hadir memberikan pendampingan karakter kepada anak-anak, menanamkan nilai akhlak, disiplin, dan hormat kepada orang tua serta pelatih. FORSGI, sebagai wadah pembinaan olahraga, melengkapi proses itu dengan pelatihan teknik yang sistematis.
Kolaborasi keduanya menjadikan festival ini bukan sekadar kompetisi, tetapi ruang tumbuh bagi anak-anak untuk menjadi pribadi yang cerdas, bertalenta, dan berkarakter. Dari lapangan sederhana di Kamanre, harapan masa depan itu mulai disemai, bahwa suatu hari nanti, anak-anak inilah yang mungkin akan membawa nama Luwu, Sulawesi Selatan, bahkan Indonesia, menuju panggung yang lebih besar.

