Jakarta (10/12). DPP LDII menghadiri undangan bedah buku karangan Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014 – 2019), yang dihelat di Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama Jakarta, di Wisma Syahida Inn, Ciputat, Banten pada Kamis (8/12).
Lukman Hakim Saefudin membahas bukunya yang berjudul “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan dan Tantangan. Menurut dia, buku ini adalah refleksi pengalaman setelah tak lagi menjabat Menag RI.
Saat Lukman Makim Saefudin menggagas konsep moderasi beragama saat menjabat menteri agama, masyarakat terpecah-belah memahami konsep tersebut. Tidak sedikit yang menanggapinya dengan salah paham, bahkan menuduh dirinya meliberalisasi agama, bahkan penyimpangan atas agama tertentu.
Padahal menurutnya, moderasi beragama menjadi penengah amalan ekstrim yang melampaui batas, baik itu golongan kanan maupun golongan kiri. Pemahaman agama di tengah masyarakat antara konstekstual dan tekstual yang tidak seimbang.
“Misalkan terlalu mendewakan nalar daripada tekstual. Sementara terlalu tekstual, tidak menempatkan dalil pada konteksnya, misal perkembangan zaman. Apa batasannya? Umat Islam selalu memilah dengan usuliyah dan furuiyah,” katanya.
Menurut Lukman Hakim Saefudin, umat beragama harus melakukan refleksi ketika mengamalkan ajaran keagamaan menyimpang dari yang pokok universal. Poinnya, agama adalah pesan utama yang disampaikan Tuhan untuk menjunjung nilai bersama di tengah kehidupan heterogen.
“Ibadah yang partikular, kita saling toleransi saja. Liturgi di gereja juga beragam. Ibadah di pura ada yang pakai dupa dan ada yang tidak. Namun, nilai yang universal tidak bisa ditolerir jika diingkari. Ini adalah pesan utama agama itu sendiri, menegakan keadilan dan persamaan di depan umum,” katanya.
Bagi Lukman, bedah buku ini tidak hanya bukti bahwa moderasi beragama bukan sekadar konsep hidup. Ia dengan lapang dada dan terbuka, siap menerima bantahan dan kritikan tehadap gagasan konseptual moderasi beragama dalam rangka menjaga bingkai keindonesiaan.
“Bagi saya, moderasi beragama hakekatnya adalah “the living grand conception”. Gagasan konseptual yang hidup di tengah masyarakat dan sangat dinamis. Moderasi Beragama selalu memerlukan tanggapan dan masukan dari kita semua. Moderasi Beragama adalah respon atas amalan kegaamaan yang melampaui batas,” katanya.
Kehadiran DPP LDII dalam bedah buku bertemakan moderasi beragama itu, diwakili Ketua Departemen OKK DPP LDII KH. Tri Gunawan Hadi dan Anggota PAD DPP LDII Ust. H. Wilnan Fatahillah. Menurut Ust. H. Wilnan Fatahillah, moderasi beragama sangat penting untuk dipahami dan terus disosialisasikan kepada seluruh penganut agama.
“Karena moderasi merupakan cara pandang beragama yang tidak bertindak berlebihan atau ekstrim, lebih mencari persamaan diantara keragaman, dan tidak meruncing perbedaan serta membawa misi kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat,” menurut Wilnan Fatahillah.
Hasil yang diharapkan adalah sikap saling menghargai dan memahami perbedaan faham dalam internal agama maupun perbedaan ajaran antar agama. Dengan moderasi beragama, harapannya adalah tidak terjadi konflik agama dan tindak ektrimisme dan terorisme.
Sementara itu, KH. Tri Gunawan Hadi juga menambahkan jika moderasi beragama lebih kepada upaya untuk menstimulasikan dan memformulasikan dialog masalah sosial-keagamaan. Apalagi di negara yang majemuk seperti Indonesia, sikap moderat dalam kehidupan beragama sangat diperlukan.
“Hal yang patut untuk diperhatikan bersama adalah bahwa moderasi beragama bukan moderasi agama, bukan politisasi agama, bukan pendangkalan akidah, bukan liberalisasi dan sekurelisasi,” katanya.
Sebagai informasi, moderasi beragama sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 melalui Perpres No. 18 Tahun 2020. Sebagai warga negara yang baik, sudah tentu sepatutnya memperkuat landasan konstitusional UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendasari berlakunya moderasi beragama di Indonesia.